Oleh: Fahmi Karim
Ini adalah catatan kecil, tepatnya sebuah ingatan dan harapan dari pikiran-pikiran kecil. Satu kerinduan saya akan PMII, khususnya PMII Cabang Metro Manado yang usianya memasuki tahun ke empat. Kerinduan ini secara sadar dibalut dengan niat baik untuk sekadar mengkoreksi dengan maksud membangun, atau ikut membagi-bagi api pada pembaca.
Selamat ulang tahun dan selamat membaca dengan sakit dan saksama.
---
Meski terhitung muda dalam organisasi, namun sebagai orang yang mendahului proses berorganisasi, tugas kami sesungguhnya terus menghadirkan jiwa-jiwa resisten dan rasa keberpihakan; belajar mengambil posisi, konsisten berpengetahuan, serta mengambil sikap benar pada problem sosial: berpikir dan bertindak dalam rel benar.
Dalam sejarah para pemikir besar, memprofokasi pikiran umat manusia (membongkar status quo, atau menghancurkan apa yang telah dianggap benar) menjadi isu utama. Sokrates, Baginda Nabi Muhammad SAW, atau Soe Hok Gie menjalankan agenda itu. Meski dengan kadar yang beda, namun sama dalam mengambil posisi dalam kenyataan hidup masyarakat.
Posisi itu hanyalah imbas dari patokan pengetahuan tentang apa itu masyarakat yang adil. Sehingga refleksi dan proyeksi menjadi agenda besar dari setiap kritikan dan perbaikan yang hadir dari pemikir.
Dalam catatan ringan ini, saya hanya akan bicara refleksi. Soal proyeksi nanti di kesempatan lain saja. Saya hanya ingin memberi api, biar panasnya bisa dirasakan bersama. Saya tidak tahu apakah ini subjektif atau pikiran objektif. Namun, pikiran saya dalam tulisan ini berangkat dari kegelisahan masa depan karena melihat perkembangan masa sekarang, terutama kehidupan warga PMII.
Apa yang Perlu Direfleksikan?
Pertama, jumlah anggota yang membludak.
Melihat pertumbuhan anggota PMII, secara kuantitas, dari tahun ke tahun terus bertambah. Meski ketambahan anggota ini dibarengi dengan hilangnya anggota tahun sebelumnya. Namun bertambahnya anggota perlu diapresiasi sembari pesimis.
Bertambahnya anggota ini disyaratkan oleh dua kemungkinan: apakah PMII menjadi organisasi yang terus diminati oleh anak muda – artinya PMII citranya menjadi semakin baik – atau karena iklim strategi perekrutan semakin sistematis. Dari keduanya sama-sama punya nilai progresif. Sama-sama lahir dari program yang taktis.
Namun, dari pikiran pesimis, yang perlu dipertanyakan: setelah banyak anggota lalu apa?
Pesimis saya: banyaknya anggota baru ini nantinya hanya akan menciptakan “mental kerumunan” yang siap bunuh diri demi organisasi dan barisan pemberi donatur yang massanya siap ditelepon dan diarahkan 1 x 24 jam. Saya kira itu receh dan menghina pikiran.
Apa itu mental kerumunan? Yaitu situasi psikologi yang tidak bisa berani berpikir sendiri dalam segala situasi. Selalu mengandalkan massanya. Ikut-ikutan kesimpulan massa tanpa merenung. Ini berbahaya jika nanti kerumunannya diganggu; berbondong-bondong responsif tanpa mengambil jarak terlebih dahulu.
Kerumunan itu penting selama dalam koridor massa yang sadar. Sadar dalam arti mengapa organisasi menjadi penting untuk zaman yang tidak penting – saya meyakini dengan sadar kuantitas dasar dari kualitas, artinya memperbanyak anggota itu penting sebagai kondisi pemungkinan.
Kedua, modul belajar PMII.
Adakah modul belajar PMII di setiap wilayah? Dari Pengurus Cabang hingga Rayon? – Dengan asumsi masing-masing situasi punya kespesifikannya. Modul yang nantinya akan mengarahkan akan ke mana sesungguhnya kita ini.
Berlayar perlu tujuan, tujuan perlu diketahui jalurnya agar tidak sembarang menjadi perompak, atau dirampok, atau tenggelam tanpa sejarah. Harus belajar navigasi, belajar bela diri, belajar bertahan hidup, agar tidak hanya sampai ke tujuan dengan selamat, namun membuat dan menyediakan jalur pelayaran untuk pelayar-pelayar berikutnya. Kesemuanya harus diketahui bukan hanya oleh nahkoda kapal, namun juru masak pun harus mengetahuinya.
Sebelum berlayar mengarungi lautan untuk menuju ke tujuan PMII, adakah kerangka pelayaran yang telah disediakan oleh PMII? Jika tidak, terus kita sesungguhnya sedang berlayar ke mana? Sebelum itu, kenapa kita berani berlayar tanpa mengetahui jalur, kerangka, dan akan ke mana kita berlayar?
Jalur dan kerangka pelayaran ini tidak tercipta karena tidak ada suasana “melampaui” situasi. Nyaris tidak ada yang baru dalam agenda belajar PMII. Terutama patokan-patokan modul materi PMII. Kita hanya mengulang-ulang apa yang telah dibicarakan oleh barisan pendahulu. Repetisi yang dilakukan juga tidak kreatif.
Repetisi non-kreatif ini hanyalah imbas dari tidak adanya kehendak untuk melampaui situasi. Misalnya kehendak untuk melampaui ini dalam model berpengetahuan. Apa itu? Nalar akademis yang masih kurang di tingkatan PMII.
Pernahkah kita mempertanyakan seluruh bangunan ideologis PMII? Seluruh materi-materi PMII, sebelum kita menerimanya sebagai materi yang cocok di PMII, sesuai dengan problematika zaman? Adakah buku pegangan sebagai sumber rujukan setiap materi? Atau, sudah berapa anggota PMII yang mulai serius menulis dengan kerangka penelitian? Seberapa jauh kita mengetahui sejarah, misalnya Islam masuk, di daerah basis PMII? Ini butuh nalar akademis.
Implikasinya: model berpengetahuan, keberpihakan, dan kompetensi keilmuan yang tidak serius.
Dalam ranah diskursus, jangankan keinginan untuk menulis dengan model akademis, menulis opini dengan nilai-nilai PMII untuk merespon masalah sosial pun jarang ditemui. Justru yang didapat adalah kesibukan menulis Aku, Senja, dan Kopi – para barisan pemuja senja – yang entah itu adalah puisi atau sekadar belajar menjadi gagah dalam kata-kata. Semua bicara tentang Aku yang tidak berdaya di hadapan semesta perasaan, mengharu-biru.
Tidak ada yang salah, karena itu juga bagian dari ekspresi intelektual. Sangat-sangat diapresiasi. Namun, jika ini menjadi gelombang yang massif justru akan menciptakan iklim literasi yang tidak peduli dengan ketimpangan kehidupan umat manusia.
Terus bagaimana kita akan menjadi khalifah di muka bumi? Sementara calon khalifah justru tidak berdaya di hadapan perasaan yang tak terbalas – sekali lagi, saya sangat mengapresiasi setiap keinginan untuk menulis.
Iklim kebaruan akan tercipta jika dan hanya jika nalar akademis dan rasa keraguan kita terus tumbuh.
Ketiga, model kegiatan yang tidak langsung bertalian dengan kebutuhan zaman.
Mau di zaman sosialisme-komunisme setelah revolusi proletar pun situasi akan tetap modern. Teknologi tetap menjadi motor utama pembantu manusia. Teknologi sudah niscaya. Zaman sudah mengharuskan kita melek teknologi karena segala macam profesi terkoneksi dengan teknologi.
Bagaimana kita menghadapi zaman ini? Sudahkah kita mempersiapkan diri?
Kita tidak selalu mengurus PMII. Tidak menetap di PMII secara struktural. PMII hanyalah satu ruang untuk kita mengkondisikan diri ke ruang yang lebih besar lagi; menciptakan kondisi-kondisi yang mungkin. Artinya tugas PMII melakukan produksi dari bahan yang awalnya tidak berguna menjadi barang yang punya niai-guna dan nilai-tukar.
Produksi melibatkan cara kerja yang sistematis, terukur, dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Zaman sedang membutuhkan keahlian yang spesifik, kompetensi keilmuan. Misalnya bahasa asing, penguasaan teknologi informasi, penguasaan administrasi, dan segala jenis soft skill yang terus berkembang – kesemuanya akan terkoneksi dengan agenda intelektual PMII.
Misalnya untuk kebutuhan masa sekarang; sudah seberapa sering anggota PMII diberikan pelatihan oleh pengurus PMII yang berhubungan dengan keseharian anggota? Membuat surat, desain grafis, bahasa asing, menjadi MC, ceramah, menjadi khotib, mengoperasikan microsoft, dst., yang kesemuanya dibayangkan dapat berguna bagi anggota PMII baik dalam ruang kelas maupun di desa tempat kita balik untuk liburan.
Hampir-hampir kegiatan yang dibuat tidak terkoneksi dengan kenyataan hidup sehari-hari.
Keempat, minus apresiasi minat dan bakat.
Setiap orang terlahir dengan potensi yang berbeda-beda. Masing-masing orang tumbuh dengan bakat dan keahlian yang tidak sama. Setiap orang mencintai bakat dan hobinya dengan sungguh-sungguh. Bagi orang yang serius dengan potensi diri, baginya bakat adalah anugerah Tuhan, secara kodrati, yang diberikan dan harus dikembangkan.
Jika melihat program-program PMII sulit ditemukan pengembangan minat dan bakat. Padahal, mustahil dari ratusan anggota PMII tidak memiliki bakat. Yang memiliki bakat terpaksa harus mencari ruang baru untuk mengembangkan bakatnya.
Kelima, kehendak untuk berprestasi.
Dari ratusan kader PMII, berapa orang yang dikondisikan untuk meraih prestasi dalam kampus atau di luar kampus? Nyaris tidak ada jika dibanding dengan menumpuknya jumlah anggota.
Ini karena warisan pemikiran Orde Baru yang tidak mau berbaur dengan pihak Negara karena Negara adalah sumber eksploitasi. Berbaur artinya mengafirmasi pihak Negara. Akhirnya nalar ini diwarisi dalam kampus; tidak punya kehendak untuk meraih prestasi dalam kampus. Misalnya merebut posisi strategis dalam kampus atau menyapu bersih segala perlombaan intelektual, minat dan bakat dalam kampus.
Jika pun ada yang telah merebut posisi strategis kampus, lalu selanjutnya apa? Adakah perubahan model kepengurusan di dalam kampus saat PMII menduduki jabatan strategis kampus? Ini karena tidak dihubungkannya nalar PMII dengan program-program kampus.
Sebagai penutup bara api ini, saya sesungguhnya ingin bilang: saya selalu salut, suka, dan bangga dengan orang yang serius mengurus pikiran dan PMII sambil mempertanyakan apa itu organisasi. Dari situ sesungguhnya, jika saya bisa subjektif, kita bisa cinta pada organisasi karena lahir dari ruang perenungan tindakan dan pengetahuan.
Akhirulkalam: kejujuran, kebenaran, keadilan.