![]() |
Oleh: Fahmi Karim
Tahun 2015 PMII ditetapkan menjadi Badan Otonom (Banom) NU melalui putusan Sidang Komisi Organisasi Muktamar Ke-33 NU. Artinya PMII akan menjadi bagian dari NU, secara struktural.
PMII sebelumnya mengambil sikap interdependensi (1991) dengan NU. Dalam
artian, kerja-kerja dakwah bisa juga menjadi amanah yang diemban oleh PMII,
karena secara kultural PMII adalah NU; dakwah Islam yang rahmat, toleran, dan
damai. Sikap demikian, sebagai respon dari kelanjutan sikap independensi.
Saya coba menganalisis kenapa
sikap interdependensi ini diambil.
Pertama, kesadaran bahwa NU adalah orang
tua dari organisasi. Kesadaran historis
ini bukan tanpa sebab. Diskusi yang berkembang di PMII, khususnya diskursus
yang tumbuh di masa Orde Baru, merupakan tema-tema Kiri dengan penekanan pada materialisme historis; PMII tidak bisa a-historis. Kesadaran ini pula yang
mendorong seluruh sikap PMII, baik pada kenyataan sosial yang timpang, pada
negara, maupun kenyataan keberadaan organisasi.
Kedua, PMII secara kultural sangat dekat
dengan NU. Kader-kader Pergerakan kebanyakan mempunyai latar belakang dari desa
dengan tradisinya, khususnya tradisi-tradisi Islam di pedesaan – selain juga
dipengaruhi kaum santri.
Ada kesamaan antara corak
beragama NU dengan latar belakang kader-kader PMII. Kesamaan ini, karena NU dengan
para a’lim ulama mempunyai basis
tafsir yang jelas terhadap corak berislam yang didakwahkan, maka PMII menemukan
titik pijak yang jelas pada tradisi yang telah menubuh.
Ketiga, Orde Baru, yang menjadi common enemy, yang memukul mundur semua
gerakan-gerakan yang melawan rezim, memaksa setiap simpul gerakan harus membuat
simpul massa sebagai satu titik
artikulasi, sebagai kekuatan perlawanan. PMII harus mencari titik pijak
agar gerakannya menjadi terjustifikasi atau mendapatkan dukungan dan restu. Interdependensi ini menjadi jalan untuk
membuat simpul massa lebih terarah – meski pada akirnya PMII dilema di
persimpangan jalan.
Catatan: Poin ketiga hanyalah bunga dari efek poin pertama dan kedua;
menemukan satu justifikasi karena momen. Artinya, poin ketiga hanyalah respon
represi rezim.
Namun seperti dalam tema tulisan,
kenapa PMII tidak boleh menjadi Banom NU?
Isu ini kembali terdengar. Meski hanya
sekadar isu namun kita perlu memberikan satu pandangan bagaimana sikap PMII
seharusnya.
Sebelum kita mengambil sikap
apakah akan di Banom atau tidak, kita mestinya terlebih dahulu bertanya:
mengapa NU harus menarik PMII ke dalam tubuhnya? Harus menjadikan Banom? Bukannya
secara kultural, karena inti dari sebuah dakwah, kita sebagai warga Pergerakan
selalu patuh pada petuah-petuah NU? Selalu memberi rujukan pengetahuan
keislaman pada NU? Apa yang salah, atau apa yang benar dari sebuah sikap NU
untuk PMII? Kecuali kita ingin organisasi yang seperti Lenin bayangkan: adalah
keterpimpinan dari pusat. Namun apa programnya? Merebut seluruh cabang-cabang
produksi? Mengkondisikan suatu revolusi? Saya pikir tidak juga.
Jawabannya sederhana: karena PMII
tumbuh makin besar, dengan kader-kader dari Sabang sampai Merauke, menjadi
penting untuk menarik kembali PMII ke dalam struktur karena sebuah sikap kultural
tidaklah menjamin apakah akan komitmen pada organisasi atau tidak.
Sesuai dengan tema, saya akan memberikan suatu pandangan berupa alasan PMII tidak harus menjadi Banom.
1. Berisikan mahasiswa
PMII berisikan mahasiswa, sesuai
dengan yang tertera di nama organisasi.
Namun ada apa dengan mahasiswa?
Mahasiswa tidak hanya mengemban suatu dakwah, tugasnya lebih luas dalam merespon zaman: agen perubahan, kontrol sosial, menbobrak tatanan yang tidak adil, atau mengondisikan perubahan yang mungkin sejak awal (memahami gerak masyarakat). Mahasiswa dalam hal ini berarti luas, meskipun ada lebel Islam, namun pada dasarnya adalah mahasiswa. Sementara jika kita dalam struktur kemungkinan ada yang bertentangan dengan keputusan NU secara organisasi, ataupun ada sikap yang ingin diambil oleh PMII, sesuai dengan konteks spesifik masalah rakyat, yang bertentangan dengan keinginan orang tua kita.
2. Otonomi sebagai syarat kemandirian pengambilan sikap
Sebagai implikasi dari poin satu,
otonomi dari organisasi menjadi perlu sebagai syarat pengambilan keputusan,
sebagai syarat untuk menyesuaikan dengan konteks spesifik lingkungan PMII.
Kontemplasi dari memahami
struktur kenyataan yang dihidupi mensyaratkan suatu otonomi pikiran dan sikap. Di
sini kemandirian dari PMII dibutuhkan – meskipun kita melihat kemandirian juga
terlihat dari beberapa Banom NU, namun tidak menutup suatu kemungkinan ada
gesekan dalam pengambilan sikap organisasi.
NU berfokus pada dakwah Islam;
ketaatan dalam menjalankan agama. Meski Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber
Daya Alam (FNKSDA) fokus pada isu-isu rakyat, namun tidak jarang beberapa kader-kader
NU sering bertentangan (misalnya perdebatan konsep hijrah oleh Cak Nun dan Al-Fayyadl beberapa tahun lalu tentang
masalah Kulon Progo). Ini karena sikap NU pada isu-isu rakyat, khususnya soal
ketimpangan ekonomi, tidak terlalu jelas (sepegetahuan saya).
Otonomi dari organisasi menjadi harus. Otonomi dalam artian PMII bisa mengambil sikap pada isu-isu yang spesifik di setiap daerah masing-masing. Misalnya isu pembangunan.
3. Organisasi yang punya orientasi pada perubahan sosial
PMII sedari awal mengkhidmatkan
diri pada isu-isu rakyat; pada problem ketidakadilan, pada problem kemiskinan
yang terstruktur, sistematis, dan masif. Inilah yang menjadi corak gerak PMII
sampai saat ini. Tidak hanya sekadar memasarkan tafsir teologis NU, ataupun
Islam Nusantara, namun konsisten pada isu-isu gerakan.
Konsistensi ini, sebagai suatu komitmen PMII, mensyaratkan kedua poin
di atas sebagai suatu prakondisi. Masuk ke dalam struktur hanya akan membuat
kita menimbang sikap dan keputusan; apakah akan direstui atau tidak,
sementara keadaan membutuhkan gerakan yang langsung.
Namun otonomi dan keberanian mengambil
sikap ini tidak serta-merta membuat PMII akan keluar dari prinsip-prinsip
NU. Yang telah menjadi prinsip-prinsip dakwah NU tetaplah menjadi prinsip
dakwah PMII. PMII telah memulai keseluruhan bangunan pengetahuan dengan menggunakan
tafsir teologis NU. Namun dalam menghadapi masalah rakyat yang spesifik dibutuhkan suatu otonomi.