PARADIGMA MEREBUT RUANG; SEBUAH PINTU MASUK PADA KENYATAAN


Tulisan di bawah ini merupakan esai dari Sahabat Fahmi Karim yang diikutsertakan dalam perlombaan Call for Essay Konfercab PMII Sleman yang dikirim tanggal 10 Februari 2021, masuk dalam kategori sepuluh esai terbaik dan akan dibukukan dengan judul asli “FORMAT KADERISASI DAN ARAH GERAKAN: Harus Ke Mana PMII setelah 60 Tahun?; Sebuah Refleksi Paradigma”.

—————-

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam sejarahnya, selain komitmen pada kebangsaan, keberpihakan PMII juga nyata dalam sejarah perlawanannya. Keberpihakan pada masyarakat yang terancam hidupnya akibat jenis kebijakan yang tidak berpihak atau konstruksi sosial yang meminggirkan setiap manusia. Keberpihakan ini nyata teraktualisasi dalam setiap aksi dan advokasi PMII pada masyarakat.

Tantangan zaman yang semakin kompleks membuat PMII sulit memecah mana problem yang menjadi perioritas dan mana problem yang menjadi benar-benar masalah sebagai musuh yang harus dihadapi. Masalah ekologi dengan perubahan iklim (climate change), sistem kapitalisme lanjut (neolib) dengan trend globalisme dengan percepatan pembangunan, politik identitas dan fundamentalisme agama yang kian menjamur dari hulu hingga hilir, oligarki yang kasat-mata, hingga teknologi tingkat tinggi (hight tech) yang menjadi pesaing manusia dalam kerja. Kesemuanya menjadi tantangan kita pada zaman ini dan tantangan itu sulit dihadapi jika tidak dilakukan pemetaan dan fragmentasi untuk menghadapi tantangan itu. Meski demikian, tema yang menjadi konsistensi PMII adalah keberpihakannya pada masyarakat yang dimiskinkan, keutuhan bangsa, dan mempersiapkan manusia yang unggul sebagai khalifatullah fil ardh.

Seluruh agenda dalam setiap langkah dan ide PMII harus mempertimbangkan segala jenis problem yang sedang dihadapi. PMII tidak lagi hidup pada masa lampau yang masalahnya jelas bisa ditelisik dengan akal umum. Di masa ini, PMII hidup dengan sekelumit jenis masalah yang tiap hari berkembang biak.

PMII hidup dengan heterogenitas Indonesia. Situasi ini yang harus menjadi pertimbangan dalam eksternalisasi ide dan gerakan. Komitmen PMII terhadap kebangsaan tidak bermaksud meminggirkan dimensi keislaman. Justru rumusan ini adalah perpaduan dari dimensi keislaman dan keindonesiaan. Agenda ini yang perlu menjadi rujukan setiap berpikir dan bertindak seluruh kader-kader PMII di manapun berada.

Dalam tulisan kali ini saya tidak akan membicarakan bagaimana pendidikan internal PMII yang seharusnya, dari Mapaba sampai dengan hari-hari organisasi karena hal itu telah saya tuliskan dalam buku Refleksi 60 Tahun PMII: Harapan dan Tantangan, editor Dwi Winarno. Saya akan menulis sesuai dengan tema yang saya angkat di atas: Harus Ke Mana PMII setelah 60 Tahun?

Saya hanya akan berbicara dua poin. Pertama, bagaimana kehidupan kita pasca mahasiswa yang berhadapan langsung dengan dunia kerja sampai berkeluarga. Bagaimana ide-ide PMII tetap bertahan sebagai satu bahan untuk mengkondisikan Indonesia yang lebih baik. Kedua, saya akan berbicara tentang satu refleksi paradigma, yaitu Paradigma Menggiring Arus dengan mengupayakan satu rekonstruksi berupa Paradigma Merebut Ruang. Suatu refleksi untuk situasi Indonesia dengan segala potensi kader untuk memasuki ruang-ruang yang baru (setelah poin pertama) dengan tetap berpegang pada ide-ide keberpihakannya.

Situasi Pasca Mahasiswa

Kita mesti melampaui kecintaan kita pada bendera atau segala atribut PMII. Kecintaan kita tidak sekadar pada PMII sebagai organisasi, sebagai suatu wadah, tapi harus mencintai sekaligus menjiwai nilai-nilai PMII­. Jika nantinya ada yang melancarkan kritik pada PMII kita tidak buru-buru emosi sendiri jika berpegang pada nilai-nilai PMII.

Apa implikasinya jika kita menjiwai nilai-nilai PMII? Tidak hanya sekadar pada organisasi?

Misalnya, katakanlah, kita telah selesai berproses di PMII dan ingin berkiprah di tempat lain. Tentunya tempat lain itu bukanlah PMII. Namun meski ruang itu bukanlah PMII tapi kita bisa menerapkan nilai-nilai PMII jika sebelumnya kondisi mental kita telah diinternalisasi oleh nilai itu. Di mana pun kita berada nilai-nilai PMII yang akan kita bawah.

Hal-hal ini yang perlu dipegang oleh setiap kader PMII maupun alumni PMII. Dunia di luar PMII sangatlah kompleks dengan segala problematikanya. Untuk menghadapi setiap masalah yang terpecah-pecah membutuhkan suatu komitmen, dan komitmen ini yang perlu terus ditanamkan di setiap anggota maupun kader PMII agar tidak menjadi kader yang hanya memanfaatkan situasi tanpa mengkondisikan perubahan kenyataan yang lebih adil sesuai dengan komitmen PMII.

Kita akan menemukan berapa alumni PMII yang justru mengafirmasi setiap model kebijakan yang tidak berpihak. Ini dikarenakan tidak komitmen pada nilai-nilai PMII, hanya menjiwai PMII sebagai organisasi namun tidak menjiwai PMII sebagai kebenaran nilai-nilai pada dirinya.

Internalisasi nilai-nilai PMII “sejak dini” menjadi penting. Ini membutuhkan satu skema kaderisasi yang berorientasi nilai. Inilah yang dimaksud oleh Pierre Bourdieu sebagai habitus, yaitu kondisi struktur mental ataupun kognitif setiap individu untuk menghadapi kehidupan sosial. Habitus sangat dipengaruhi oleh struktur sosial, tergantung kita berada di sistem sosial mana. Ini mempengaruhi mental setiap individu dalam mendorong setiap tindakannya.

Habitus menghasilkan juga sekaligus dihasilkan oleh kehidupan sosial, oleh lingkungan dia berada – terutama satu sistem yang terinternalisasi dan kembali dieksternalisasi. Habitus diciptakan melalui praktik juga sekaligus  adalah hasil tindakan yang diciptakan dalam kehidupan sosial. Inilah yang kiranya harus terus diperhatikan: membuat lingkungan organisasi menjadi lebih berorientasi nilai – ini poin penting yang saya jelaskan dalam buku Refleksi 60 Tahun PMII: Harapan dan Tantangan, suatu formulasi hari-hari organisasi yang harus diskemakan, mulai dari ruang-ruang ngopi sampai ruang-ruang formal PMII.

Paradigma Merebut Ruang (PMR)

Dalam sejarah PMII, berbagai paradigma telah dirumuskan. Yang terakhir Paradigma Menggiring Arus (berbasis realitas) – suatu asumsi paradigma yang berangkat dari model berpikir Karl Marx yang dirumuskan kembali oleh Engels kemudian Lenin sebagai filsafat Marxisme: materialisme dialektika-historis. Paradigma ini lahir untuk mengkoreksi paradigma PMII yang sebelumnya, yaitu Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran (ABMP) dan Paradigma Kritis-Transformatif (PKT). Beberapa kecacatan paradigma ini – jika bisa dibilang demikian – telah diulas oleh Subronto Aji, maka saya tidak perlu menguraikan refleksi pada kedua paradigma itu. Saya akan coba merefleksikan Paradigma Menggiring Arus (PMA) yang digagas oleh Hery Hariyanto Azumi dengan memberi catatan berupa kritik namun tetap konsisten pada asumsi metafisis paradigma ini: berbasis realitas.

Pertama:  PMA adalah suatu pandangan terhadap “sistem dunia”. Dengan asumsi bahwa dunia dibagi dalam struktur sesuai dengan mode produksi yang sedang berkembang. Kita harus memahami terlebih dahulu pertumbuhan ekonomi setiap negara – dengan asumsi ekonomi-politik neoliberalisme – juga memahami geopolitik dan geostrategi. Diskusi-diskusi seperti ini sangat kental dengan term Kiri, dan kita tahu dari mana Immanuel Wallerstein bertolak.

Hery menggunakan paradigma ini dengan suatu tawaran non-systemik movement: “berjalan dalam sistem yang tengah beroperasi tapi tidak bekerja untuk sistem tersebut sambil menciptakan condition of possibilities untuk membangun sistem yang sama sekali beda.” Namun apa “sistem yang sama sekali beda” itu? Sosialisme kah? Terlalu malu-malu, atau masih tetap percaya pada sistem yang sedang berjalan padahal berangkat dari kerangka marxis. Karena berangkat dari kerangka dominasi sistem kapitalisme dan melakukan catatan kritis dengan kritik mestinya tawarannya adalah satu sistem yang menjadi lawan dari kapitalisme, yaitu sosialisme.

Menurut saya, paradigma ini hanyalah suatu penggambaran realitas yang sedang berkembang; suatu realitas ekonomi-politik. Indonesia bisa saja naik peringkat – dalam stratifikasi sistem – dan juga bisa turun sesuai dengan mode produksi setiap negara; untuk membaca sistem dan negara mana yang sedang dominan.

Ini bukan tanpa alasan, paradigma ini memang hanyalah satu upaya untuk membuka wawasan PMII yang masih berputar-putar pada paradigma sebelumnya: bahwa negara adalah musuh, padahal negara disandera oleh sistem. Bukanlah negara yang menjadi musuh, namun satu dominasi mode produksi yang sedang berkembang.

Poin pentingnya: Negara bukanlah sauatu entitas yang netral, ataupun otonom. Posisi negara tergantung dari kelas apa yang menguasai. Jika para oligark – dengan internalisasi nilai-nilai kapitalisme – yang menguasai negara, secara otomatis seluruh produk kebjiakannya lebih tampak berpihak pada posisi ekonominya. Seluruh produk kebijakan entah yang berpihak ataupun tidak adalah produk dari kelas yang dominan dari dalam negara. Negara hanyalah suatu instrumen dari kelas yang dominan. Sweezy menyebutnya sebagai “teori dominasi-kelas” yang diperlawankannya dengan “teori mediasi-kelas” oleh kaum liberal.  Negara baginya hanyalah instrumentalisme relatif. Di sini posisi negara tergantung pada dinamika perjuangan kelas. Dari premis ini kita mulai berangkat untuk memandang negara; bahwa negara adalah ruang yang perlu direbut.  

Masalahnya, jika kita masih konsisten pada teori sistem kita tetap akan dalam kerangka dominasi sistem tanpa suatu upaya untuk menghilangkan dominasi ataupun sistemnya. Masalah kedua, adalah memandang bahwa yang paling berperan dalam teori sistem adalah negara tanpa memahami asumsi yang digunakan oleh Hery untuk mengkritik PKT: bahwa negara hanyalah sandera dari sebuah sistem.

Kedua, PMA berorientasi pada pasca proses ber-PMII – meskipun Hery membicarakan produksi, distribusiwarring position dan wilayah garapan PMII – karena pembahasannya mengenai suatu sistem dunia yang harus digiring menjadi sistem yang sama sekali berbeda. Ini sudah pada level kebijakan negara untuk membalik suatu sistem (jika dari dalam). Saya akan sedikit menambalnya jika masih ingin mempertahankan kerangka PMA: dengan membangun fron perlawanan rakyat. Meminjam Laclau dan Mouffe, mencari suatu titik artikulasi dari identitas masyarakat yang berbeda, yang sama-sama dipukul mundur oleh sistem – meski yang dihilangkannya adalah esensi: basis sosial produksi.

Ini adalah suatu kemungkinan, namun kita harus kembali bertanya: bagaimana ini menjadi mungkin untuk organisasi serupa PMII? Yang malu-malu untuk mengambil suatu posisi?

Problemnya, karena paradigma adalah tidak sekadar kerangka teoritik untuk menafsirkan dunia namun untuk mengubahnya dalam praktik, lalu bagaimana paradigma ini (PMA) bisa diaplikasikan oleh mahasiswa yang baru selesai Mapaba? Bagaimana paradigma ini bisa diterapkan sebagai problem solving di kampus masing-masing? Atau bagaimana paradigma ini bisa kompatibel dengan Aswaja an-Nahdliyyah dan Islam Nusantara? Bagaimana paradigma ini bisa menjadi satu praktik sejak jadi anggota baru PMII sampai dia sudah memasuki dunia kerja yang sebenarnya?

Di situlah medan problematis PMA: suatu paradigma yang tidak bisa diaplikasikan secara langsung yang berangkat dari kenyataan spesifik dengan bertolak dari seluruh nilai-nilai PMII, baik teologi dogmatis (aswaja) sampai metode kaderisasi formal, informal, dan non-formal; suatu jembatan teori.

Dari refleksi singkat ini, karena keterbatasan ruang (dan mungkin saya akan memperpanjangnya di lain ruang), saya menawarkan suatu rekonstruksi – alih-alih meningalkan asumsi-asumsi PMA –, sebuah Paradigma Merebut Ruang (PMR). Suatu paradigma yang membicarakan aplikasi nilai-nilai PMII yang bisa diterapkan oleh setiap anggota PMII bahkan suatu metode untuk mengajak mahasiswa baru untuk masuk PMII sampai pada skema merebut ruang-ruang strategis negara. Suatu paradigma praktik berbasis kenyataan; kenyataan spesifik masyarakat Indonesia.

Asumsi realitas yang menjadi titik berangkat masih sama dengan paradigma-paradigma sebelumnya: neoliberalisme, globalisasi (“Barat”). Namun dimensi yang perlu ditambahkan adalah fundamentalisme agama, politik indentitas, trend konsumsi (konsumerisme), persoalaan agraria dan ketahanan pangan (apa yang disebut oleh Henry Bernstein sebagai pertanian kapitalis dan oleh Philip McMichael sebut sebagai rezim pangan)perubahan iklim (climate change), rezim high tech, ataupun emansipasi konstruksi sosial gender hingga memasarkan teologi dogmatis Aswaja An-Nahdliyah dan wawasan Islam Nusantara sebagai praktik spiritual.  

Ruang di sini bukanlah sekadar ruang yang berada di atas tanah, yang kita saksikan hari-hari sebagai produksi diskursus ataupun produksi kebijakan. Ruang yang dimaksud juga sekaligus adalah struktur kognisi ataupun mental untuk menciptakan sebuah habitus.

Pertanyaan dasarnya, bagaimana suatu perubahan itu mungkin? Apa syarat-syarat yang harus terpenuhi sesuatu itu berubah? Dalam kenyataan sosial sehari-hari?

Perubahan selalu ada dalam tindakan – jika yang kita maksud adalah perubahan sosial. Namun, bagaimana tindakan itu menjadi mungkin oleh setiap individu? Ada tindakan yang dilakukan secara sadar ada juga tindakan yang dilakukan dengan tidak sadar, secara intuisi. Tindakan yang tidak disadari ini dipengaruhi oleh struktur mental seseorang. Struktur mental ini tergantung pada setiap individu yang memahami realitas dengan benar. Membuka cakrawala kepada setiap individu untuk memberikan jalan memahami hal-hal di balik kenyataan sosial yang nampak menjadi penting untuk mengkonstruksi struktur mental. Di sini internalisasi nilai-nilai PMII menjadi penting, dengan terus berpedoman pada basis realitas yang spesifik – dengan satu konsistensi bahwa praktik adalah konsekuensi logis dari sebuah teori.

Selalu ada hubungan antara struktur mental individu dengan struktur sosial. Namun, perubahan selalu bertolak dari posisi realitas yang sedang berkembang lalu direspon oleh struktur mental individu. Realitas apa yang sedang kita hadapi? Adalah realitas yang dijelaskan berdasarkan asumsi-asumsi di atas. Menyingkap segala problem realitas menjadi penting untuk mengantarkan pikiran kita pada realitas secara dalam kemudian mengupayakan suatu kondisi yang mungkin (condition of possibility). Ini adalah suatu upaya untuk merebut ruang.

Ruang-ruang apa saja yang perlu direbut? Yaitu segala ruang yang tersedia di publik sebagai sumber perkembangan diskursus maupun kebijakan. Mulai dari tempat-tempat ngopi sebagai penciptaan ekosistem diskursus, posisi-posisi strategis di kampus, komunitas-komunitas yang berada di masyarakat, ruang-ruang religius, sampai ruang-ruang yang memproduksi kebijakan (misalnya negara); adalah apa saja ruang yang tersedia di masyarakat.

Bagaimana ini bisa terjadi? Ini membutuhkan upaya sedari awal: suatu skema kaderisasi yang menciptakan habitus bagi setiap anggota maupun kader PMII. Di sini organisasi menjadi fungsi yang imanen, yaitu suatu sistematika berpikir dan gerakan, suatu pengorganisiran kehidupan.

Setelah ruang direbut, lalu apa? Adalah menerapkan segala nilai-nilai PMII, adalah segala diskursus yang tumbuh dalam kaderisasi PMII: menciptakan suatu wahana baru di ruang baru dan menciptakan suatu kondisi sosial sebagai habitus yang baru. Inilah suatu kondisi yang memungkinkan dan bisa diterapkan di ruang mana saja, termasuk untuk mengait mahasiswa baru untuk bergabung di PMII.

Lingkungan sosial tidaklah netral (dalam arti realitas sosial manusia). Selalu ada yang bertarung di belakang itu, selalu ada upaya untuk mengkonstruk realitas sosial yang sedang berjalan sesuai dengan posisi ideal masing-masing. Lingkungan adalah suatu arena pertarungan, suatu arena perjuangan.

Saya tidak sedang mengatakan bahwa segala permasalahan direduksi ke persoalan psikologi. Permasalahannya ada pada cara menyingkap suatu realitas dan upaya untuk mengorganisir setiap praktik organisasi. Sangat mudah untuk mengorganisir praktik karena inilah potensialitas dari organisasi – ini juga argumen yang kuat kenapa setiap manusia harus berorganisasi.

Term merebut ruang adalah suatu upaya awal – jika bisa dibilang suatu metode – sebagai suatu pengkondisian dengan terlebih dahulu memahami realitas yang sedang berjalan dan dijalankan dari ruang yang mana. Nyatanya segala ruang mempunyai potensi untuk menciptakan suatu kemungkinan diskursus dan perubahan. Maka ruang inilah yang perlu direbut sebagai satu jenis pemasaran teologi dogmatis PMII, nilai-nilai,  maupun praktik spasial. Dan ini bisa dilakukan oleh seluruh anggota PMII, termasuk alumni.

Bagaimana PMR bisa kompatibel dengan Aswaja an-Nahdliyah dan Islam Nusantara?

Sebagai teologi dogmatis PMII, Aswaja An-Nahdliyah (aswaja) menjadi manhaj al-fikr. Sebagai pengetahuan, aswaja membuka cakrawala tentang sejarah pemikiran dan penafsiran para ulama tentang teologi. Dari perdebatan sejarah ini, posisi Nahdlatul Ulama (NU) telah jelas. Begitu pula posisi tafsir teologis PMII. Namun, pemahaman tentang aswaja tidak boleh hanya dikurung sebagai pengetahuan belaka tanpa kita menerapkan apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip aswaja; tanpa “memasarkannya”. Ini poin pentingnya.

Tafsir teologis memberikan posisi kepada khalayak warga NU prinsip dalam hidup (sesuai prinsip aswaja). Teologi ini perlu diajarkan sepada semua umat Islam, terutama di Indonesia. Ini membutuhkan upaya yang tekun, konsisten dan strategis.

PMR bisa menjadi satu metode; untuk merebut ruang dan menerapkannya. Mulai dari ruang-ruang pengajian di kampung-kampung, sampai ruang-ruang akademik. Setidak-tidaknya memasarkan suatu prinsip-prinsip aswaja. Ini juga sama persis dengan wawasan Islam Nusantara sebagai semangat objektivitas sejarah dan semangat spiritual. Pentingnya menjelaskan kepada publik bahwa Islam Nusantara adalah suatu wawasan sejarah Islam yang spesifik masyarakat Nusantara. Bahwa Islam Nusantara sebagai suatu semangat identitas Nusantara dengan dimensi spiritual Islam, juga sebagai metode beragama kita yang khas di tengah pluralitasIni memberi implikasi kepada kita suatu pemahaman lokalitas juga apresiasi kepada keberagaman kehidupan warga Nusantara di tengah gempuran globalisasi yang menyebabkan tercerabutnya identitas kenusantaraan.

Wawasan Islam Nusantara, jika dipahami dari dimensi ketergerusan akibat globalisasi, ini bisa kompatibel dengan apa yang disebut oleh Al-Fayyadl sebagai Islam Kosmik: suatu dimensi keislaman yang kawin dengan dimensi ekonomi-politik yang bertolak dari problem ekologis. Implikasinya pada problem agraria yang sedang menjamur; suatu upaya untuk memberi argumen. Internalisasi dan eksternalisasi dalam bentuk praktik merebut ruang menjadi perlu. PMR menjadi penting karena realitas Indonesia yang makin kompleks.

Indonesia secara keseluruhan menghadapi agenda percepatan pembangunan. Segala upaya dilakukan oleh pemerintah guna terus mendorong pertumbuhan ekonomi. Tidak jarang ada warga negara terkena dampak negatif dari pola yang terus dilancarakan ini. Situasi kebijakan kota yang tidak memberi ruang partisipasi pada kaum miskin kota membuat setiap kebijakan tidak berpihak pada masyarakat pinggiran. Kaum miskin kota, pedagang kaki lima (PKL), disabilitas, merupakan komponen yang sering terabaikan.

Keberpihakan PMII adalah jelas: pada masyarakat yang dimiskinkan oleh sistem, pada masyarakat yang terancam hidupnya, pada masyarakat yang tertindas. Masyarakat yang tidak bisa berbuat apa-apa karena belenggu ketakutan. Masyarakat yang juga terkungkung oleh belenggu keyakinannya tentang takdir manusia yang tidak bisa diubah.

PMII yang lahir dari visi tentang dunia yang majemuk, dari penghargaan terhadap kearifan lokal, harus terus memperhatikan situasi tersebut. Agama kepercayaan yang tengah memperjuangkan eksistensinya di hadapan negara sebagai warga negara juga mesti diakomodir oleh PMII sebagai isu kemanusiaan dan keadilan.

Komitmen itu yang harus dipegang teguh oleh PMII sebagai haluan program ke depannya untuk situasi zaman yang lebih adil: Komitmen Kebangsaan, Komitmen Keberpihakan, Komitmen pada dakwah Islam rahmatan lil-alamin, komitmen pada kemanusiaan dan keadilan. Maka merebut segala ruang menjadi perlu.

Next Post
Related Post
Materi PMII