Gambar Bendera Indonesia Raya, Logo NU, dan PMII adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. |
Dalam satu sesi diskusi via zoom yang dilaksanakan oleh LAKPESDAM NU SULUT, sabtu, 18 Desember 2021 dengan tema yang sama, dengan pemateri kiai Ahmad Bakso. Secara gamblang, kiai Ahmad Bakso memulai dengan melakukan pemetaan karakteristik ke-NU-an (Nahdlyyin), yakni, NU secara kultural (amaliyah), organisasi, dan ideologi (mencakup ke-Ismalaman dan Ke-Indonesiaan). Hal ini sejalan dengan pernyataan Lacan, bahwa identitas itu tidak selalu tunggal.
Secara kultural (amaliyah) atau praktik keagamaan, ini masih belum bisa dikatakan sebagai NU sepenuhnya. Bahkan, untuk diklaim sebagai jamaah masih sangat kabur. Apabila kita telisik ke belakang, pada abad ke 14-15, praktik keagamaan (amaliyah) ini sudah dipraktikkan sejak lama oleh para wali songo, yang tidak lain adalah satu upaya penyebaran Islam dengan melakukan rekonstruksi sosial-budaya dan memasukkan nilai-nilai Islam di dalamnya yang kemudian membentuk corak keberagamaan Islam alah Nusantara seperti sekarang ini yang selalu dilestarikan oleh NU.
Sehingga, tak jarang bakal kita jumpai ritual-ritual keagamaan di desa-desa seperti, slametan (tahlilan), bersih-bersih kampung, dsb. Ini yang kemudian membedahkan corak Islam yang ada di Indonesia dengan Islam yang di luar Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, apa bilah merujuk pada kultur (amaliyah), NU (Nahdlyyin) itu siapa? Pasalnya, praktik keagamaan yang sering diidentifikasikan sebagai NU, yang sudah ada sejak lama itu tidak hanya bisa kita jumpai dikalangan NU itu sendiri, Al-Khairat, dan FPI (meski sudah dibubarkan) misalnya. Disisnilah bagi kiai Ahmad Bakso, pentingnya sebuah organisasi untuk mengakomodir jamaah NU untuk kemudian di NU-kan kembali. NU tanpa organisasi, ia ibaratkan sebagai domba-domba yang bercerai berai yang tidak membuat serigala berkeringat untuk memangsanya.
Dengan organisasi, bagi Ahmad Bakso, para kiai sebagai tenaga mobile (yang punya massa), harus menjadi penggerak, dan melakukan konsolidasi ditingkat jamaah, dan menyusun organisasi secara struktural untuk memperkuat NU secara jam’iyah. Sehingga, kejelasan akan pertanyaan “siapa Nahdlyyin (NU) itu”, menemukan titik terang yang tidak berhenti pada klaim atas kultur yang kabur.
Tidak hanya berhenti sampai pada berorganisasi, akan tetapi harus juga sampai pada level ideologis yang berhaluan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Untuk dapat dikatakan sebagai Nahdlyyin tulen, apabila ke tiga karakteristik tadi dilakukan dalam satu tarikan nafas. Yang ditakutkan iyalah kalau hanya sampai pada organisasi tanpa tendensi ideologis, ini bisa menjadi boomerang bagi NU sendiri, yang bakal merusak citra diri NU. Organisasi adalah proses indoktrinasi ideologis. Sehingga dengan sendirinya, NU bisa menjadi satu kekuatan sebagai gerakan populis (sebagai jamaah sekaligus jam’iyah) dan gerakan kebangsaan (wathaniyah).
Karakteristik populisme dan kebangsaan inilah yang dalam sejarah terbentuknya NU pada tahun 1926 dalam pergulatan menghadapi kekuatan-kekuatan global (gerakan wahabi, dan Pan-Islamisme,) yang berusaha menjinakkan populisme dan kebangsaan Indonesia kita.
Dalam pergulatan NU menghadapi ancaman dari luar maupun dari dalam, seperti kolonialisme Belanda, politik NASAKOM, kelompok-kelompok separatis (DI/TII, PRRI/PERMESTA, gerombolan Kahar Muzakkar), kelompok Amrozi-Imam Samdera hingga rezim IMF-WTO-Bank Dunia, semuanya dihadapi oleh NU dengan kekuatan pilar jamaah serta jam’iyahnya, dengan berbagai rupa strategi dan aneka siyasah-siyasahnya (lihat: Ahmad Bakso “Agama NU untuk NRI”).
Dengan demikian, ideologi tidak hanya sebatas penanda akan ke-NU-an itu, tapi juga menjadi satu simpul yang mengikat jamaah NU secara keseluruhan. Yang dalam bahasa sosiolog asal Tunisia, Ibnu Khaldun, sebut sebagai ashabiyah.
Yang menjadi ironi kemudian, PMII sebagai basis kaderisasi NU yang ideologis, sangat kurang terlibat dalam kepengurusan NU. Hanya ada dua kemungkinan, antara kader PMII yang lupa jalan pulang atau NU sebagai orang Tua (yang dituakan) lupa (enggan) untuk mengajak pulang. Sehingga, yang ada di dalam tubuh NU hanyalah segerombolan parasite yang hanya sebatas berorganisasi tanpa tendensi ideologis yang hanya menambah beban pada tubuh NU dalam melangkah.
Penulis,
Panji Saputra Datunsolang
Cat: Tulisan ini sebelumnya sudah pernah dimuat di media NU Bolmut. Di muat lagi disini serta merta hanya bagian terkecil dalam melengkapi gagasan yang sudah ada.